”Allahu akbar.. Allahu akbar..” Sayup-sayup kumandang azan maghrib
bergema di beberapa penjuru bumi jihad. Sementara, di tempat lain,
patroli pasukan keamanan PBB dan hiruk pikuk aktivitas warga setempat
mulai berkurang.
Di suatu area dekat medan pertempuran , shalat maghrib
berjamaah dilakukan oleh beberapa mujahid. Wajah mereka bersih dan segar
sehabis terguyur air wudu. Tak banyak orang dewasa di jamaah tersebut.
Pasalnya, sebagian besar di antara mereka adalah remaja dan anak-anak
belasan tahun.
Meski masih belia, para anak-anak yang beranjak remaja itu telah
terbiasa menyandang senjata. Konflik berkepanjangan dan perang membuat
anak-anak tersebut ikut menanggung perjuangan. Sebuah pemandangan
mengharukan saya saksikan dari sebuah berita internasional. Yakni,
pemandangan seorang anak kecil dengan dua kaki palsu yang tertidur di
pelataran Kota . Dia tampak lelah. Dua kakinya terpaksa diamputasi
karena kena serpihan bom yang mendarat di beberapa daerahnya.
Perang menyisakan duka. Perang juga meninggalkan kisah pahit.
Negeri-negeri di Timur Jauh dilanda perang saudara dan konflik
bersenjata yang tak kunjung usai. Kota-kota bersejarah di beberapa
negara Islam seperti Baghdad, syam, Yerusalem, dan Kabul seakan telah
akrab dengan suara bombardir rudal dan desingan peluru.
Udara Kota malam itu cukup dingin. Beberapa desingan peluru sesekali
masih terdengar. Di depan komputer, saya menyaksikan foto anak-anak yang
tewas akibat terjangan granat, entah milik siapa. Mereka gugur dengan
memeluk senapan dan mortir. Ya, mereka mati muda karena keadaan
negaranya dilanda perang.
Belum cukup sampai di situ, saya mengalihkan perhatian ke berita
tentang mujahid cilik di Lebanon dan Palestina. Usia mereka rata-rata
8–14 tahun. Wajah mereka tampak berbinar meski nyawa mereka bisa
terancam setiap saat.
Hati saya tergerus mengingat senja di Palestina pada Ramadhan .
Seorang bocah tersenyum riang saat dipotret oleh seorang jurnalis
perang. Dia gembira menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Dia juga
memimpikan negerinya merdeka dari jajahan Israel. Saya terharu melihat
wajah anak itu tersenyum. Senyum yang akan sangat sulit ditemukan di
daerah konflik seperti Palestina.
Di beberapa sudut dekat perbatasan Jalur Gaza, sekelompok anak-anak
dan remaja turun ke jalan sambil menggemakan takbir. Di kejauhan,
barisan rapat serdadu dan tank-tank militer Israel siap memblokir dan
menembak warga yang berani menembus wilayah yang diklaim oleh Yahudi
tersebut. Saya kagum dengan perjuangan para anak-anak di medan perang
itu. ”Islam is a way of life. Islam is my life, ” begitulah slogan
mereka untuk mengobarkan keberanian.
”We want freedom, ” ucap seorang pejuang kecil di Palestina. Dia
tidak salah mengucapkan demikian. Sebab, kemerdekaan begitu mahal.
Mereka siap membayar dengan darah dan nyawa untuk merebut kemerdekaan
negeri Islam yang dicintainya. Mati berjihad melawan Yahudi lebih mereka
pilih ketimbang menjadi bangsa terjajah.
0 komentar:
Posting Komentar