Senin, 12 Januari 2015

Miazawa



Hembusan angin disore ini, menuntut jemari menuliskan kembali. Goresan masa dulu, bersama tertawa dan menangis, melukis usia. Semua ini telah jauh berbeda. sebaris kata yang lukiskan rasa. Jauh dimata dekat dihati.

Aku mengenalnya ketika diawal berada ditempat itu. Tempat yang menurutku sangat asing. Bak diantah berantah. Jauh dari orang-orang yang ku kenal. Tempat yang menorehkan sejarah. Di tempat itu aku dipertemukan. Dengan gadis cantik, supel nan ceria. Baik hati, selalu gembira kepada siapapun. Diawal perjumpaan. Ada satu kesan yang masih aku ingat hingga saat ini. manis kurasa. Gadis berparas cantik itu, selalu saja membantu dikala kesulitan menghadang, kedukaan menyapa dan kebimbangan menerjang. Dia selalu ada, disaat ku membutuhkannya. Gadis berparas cantik itu, berumur jauh lebih muda dariku. Namun, ia tak segan bergaul kepada siapa saja. Meskipun jauh lebih tua atau muda. Kesan pertama yang ia hadirkan membuat aku simpati.
Gadis berparas cantik itu, bernama miazawa. Terlihat seperti nama jepang. Namun, ia bukanlah keturunan jepang ataupun orang jepang. Dia bersuku jawa tulen. Mungkin orang tuanya menyukai nama jepang. Sehingga ia bernama demikian.  4 November adalah tanggal dan bulan yang bersejarah baginya. Waktu dimana ia ada di dunia ini. menyaksikan keanekaragaman dunia ini. hadir menjadi gadis cantik nan anggun. Kesederhanaan pun tak lepas dari kepribadiannya. Semakin membuatnya berbeda dengan orang-orang lain yang ku kenal.
Entah sejak kapan, aku dan dia semakin kian dekat. Sikap supel dan cerianya yang membuatku betah berada disisinya. Sosok yang membuat hidupku menjadi lebih berwarna, dengan segala keterbatasan. Namun, tak bisa dipungkiri. Ketika kesalahpahaman sering kali menggelayuti. Menenggelamkan  ikatan ukhuwah yang kian bersemi. Akan berhenti sejenak. Merenungi kesalahan yang terlukiskan. Akan tetapi itu tak berlanggsung lama. Ucapan maaf dan kesadaran diriku yang sering kali berbuat salah selalu terlontar. Beserta keceriaan darinya yang selalu ku rindukan. Tawa renyahnya dan cerita lucu yang menggelitik.
Bersama gadis berparas cantik itu. Ku belajar menjadi seorang kakak. Yang  menyanyai, mengayomi, menyemangati dan menasehati ketika noktah kesalahan menggelayutinya. Meskipun, aku tak pernah belajar khusus menjadi seorang kakak yang baik. Sebab aku anak terakhir dari keluargaku. Secara otomatis tak memiliki adik. Namun, ia membuatku belajar untuk bersikap dewasa, bertanggung jawab dan mengurangi sifat manjaku, khas sifat anak bungsu. Bersamanya ku belajar mempunyai seorang adik yang pandai, cantik, selalu ceria dan senyuman yang tak pernah terlepas dari kedua bibirnya. Meski kadang menyebalkan. ^_^
Aku selalu mengingatnya dinda. Ketika kita selalu melakukan tradisi yang sudah jarang orang lakukan. Surat menyurat itu. Masih aku simpan rapi. Ada rasa haru biru, ketika harus membaca dan mengulangnya kembali. Kejadian lucu dan unik. Meskipun kamar kita hanya dibatasi oleh sepetak kamar. Namun, itu menjadi sebuah kenangan yang tak bisa dilupakan.
Kau ingat dinda? Ketika waktu yang sangat kau benci itu, memisahkan kita? iya, aku tahu. Butiran air matamu tak berhenti, meskipun hanya sejenak. Tapi, inilah kehendak-Nya. Kau tumpahkan seluruh keluh kesahmu, di pundakku. Aku pun tak kuasa harus menerima kenyataan ini. perpisahan yang sejatinya  benar-benar aku benci. Namun, inilah kenyataannya. Jarak yang terhampar begitu luas, di pisahkan oleh lautan dan pulau akan menjadi saksi betapa rasa kasih sayang dan persaudaraan ini tak akan berakhir. Percayalah dinda...
Terimakasih dinda, goresan cinta yang pernah kita ukir dulu. Akan selalu abadi. Dalam kanvas sejarah. Meski hanya sekejab. Namun, begitu berharga. Dan tetap terkenang di tempat yang sangat menyejarah dalam hidupku. Maafkan kakakmu ini, yang jauh dari sempurna. Tak mengerti kondisi adiknya dikala kesulitan menghadang.
Salam rindu, teruntu adindaku tersayang. Semoga kau lulus ujian dengan nilai yang memuaskan. Semangat belajar dindaku ^_^
Bandar Lampung, 12 Januari 2015
Share:

2 komentar: