Selasa, 31 Mei 2016

Hujan Malam Kamis


Hujan tidak selalu memberi luka bagi seseorang. Hujan tidak juga menjadi penyebab musibah yang sering ditakuti oleh masyarakat dataran rendah. Tapi hujan petang ini memberikan warna baru dalam kehidupan anida. Hujan sedari asar dengan kilatan tajamnya memperkeruh senja kala itu.

Sore itu, agenda rapat mingguan anida dengan teman satu organisasi. Rapat fixsasi agenda besar yang tinggal menghitung hari. Suasana rapat yang berjalan seperti biasa. Tapi personil rapat kali ini bisa di bilang tidak sempurna, sebab hanya anida peserta rapat wanita di rapat itu. Sedikit gelisah, namun apa daya, rapat harus berjalan demi keberlangsungan agenda besar ini. Anida paham, bagaimana keadaan rekan-rekan lainnya. Mereka sedang ada keperluan sehingga tidak bisa hadir dalam rapat kali ini.
“kita akhiri saja rapat sore ini, langit sudah mendung. Kasihan anida nanti kehujanan.......” ucap syahid di sela rapat.
“rapatnya belum selesai hid. Masih banyak yang harus di selesaikan terlebih dahulu” potong faiz spontan.
“lanjutkan saja, hujan bukan alasan yang tepat.” Balas anida dengan harap-harap cemas. Karena sebenarnya sudah kepalang tanggung jika pulang sekarang. Toh kilat sudah menyambar kesegala arah. Lebih baik menunggu hingga hujan turun lalu mereda.
Rapat tetap berjalan meski dengan ketakutan  untuk tidak dapat pulang. Anida yang tinggal dengan kakak iparnya menjadi alasan yang kuat. Tidak enak jika pulang terlalu malam. Masalah mungkin bisa saja terjadi.
Hingga sampai  adzan maghrib berkumandang. Hujan semakin lebat bersama kilat dan guntur yang kian membabi buta.  Untung saja, lokasi rapat di masjid kampus sehingga memudahkan untuk sholat.
“ Ya Rabb.. sampaikan salam rinduku pada-Mu dalam dinginnya petang ini, hujan yang turun semoga menjadi keberkahan bagi siapapun, termasuk diri yang hina ini. ...” pinta anida dalam doa usah menunaikan sholat maghrib.
Setelah cukup untuk bermunajat kepada sang pemilik cinta, hujan terlihat sedikit reda. Meski kilatan petir masih menjadi cahaya terang di malam yang pekat. Anida putuskan untuk beranjak pulang. Sembari berpamitan dengan syahid dan kawan-kawan lain nya.
Terlihat syahid dan teman-teman lain nya berkumpul di pelataran masjid sembari memandang langit yang kelam. Anida beranikan diri untuk berpamitan.
“syahid.. saya pulang dulu, hujan sudah sedikit reda.... ucapnyau yang sedikit kalah dengan ramainya air hujan yang jatuh.
“haa... pulang sekarang? “ jawab syahid di balik tiang pelataran masjid.
“iya”
“hujan masih lumayan deras an, nanti saja. Tunggu sampai reda.”
“tidak apa, saya sudah telat untuk pulang. Takut kalau kakak marah.” Desak nyau sembari berjalan menuju tempat sepatu.
“gelap an.. kamu bawa sepeda kan? Kalau gitu kamu naik kotor nya faiz, nanti saya dengan faiz goncengan buat nganterin kamu. Sepeda bisa kita angkat pakai motor. Gimana?”
Usul yang sedikit membuat anida terkejut. Tak bisa berkata. Saran gila yang baru pertama kali anida dengar dari temannya. Karena keadaan yang sangat mendesak akhirnya anida mengiyakan.
Hujan gerimis bersama kilatan putih menjadi pemandangan malam itu. Tiga anak manusia yang sedang menahan dinginnya malam dan air hujan. Senyuman  merekah dari bibir anida. Rasa ukhuwah itu terasa sekali hingga masuk kedalam sarafnya. Tawa renyah antara anida, syahid dan faiz sedikit terdengar di bawah kilatan yang masih menyambar. Jalanan berlubang yang tak terlihat oleh genangan air menjadi bahan tawa di atas kuda besi yang di naiki.
“jazakumullah akh... sudah jauh-jauh mengantarkan nida. Maaf kalau sudah merepotkan hingga rela hujan-hujanan kaya gini.” Ucap anida sembari tersenyum dengan jilbab dan gamis yang telah basah kuyup.
“sama-sama anida. Santai saja....gak usah merasa di repotkan. Hhe..” jawab syahid santai.
“ternyata jauh juga kos kamu an.. super sekali kalau nyepeda sejuah ini.” Faiz tertawa dengan jempol yang diacungkan ke muka anida.
“oh ydah.. anida masuk dlu. Sekali lagi terimakasih sudah mengantarkan hingga di kos. Assalamualaikum.. pamit anida hingga tubuhnya hilang bersama gelap.
“wa’alaikumussalam.......
***
Anida tahu, bahwa ukhuwah itu tak terbatas. Meskipun seringkali pertemanan antara laki-laki dan wanita seringkali termakan oleh virus yang mematikan. Tetapi tidak bisa semata-mata dijadikan patokan bahwa ukhuwah ini menjadi terlarang.
Harapan baru dengan keluarga baru akan selalu bersemi bersama indahnya mentari yang terbit. Selamat menyambut senyuman itu. Senyuman optimisme diantara kita.

Bandar Lampung
Hayatun Munawaroh,  25 April 2016 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar