Hujan tidak selalu memberi luka bagi seseorang. Hujan tidak juga menjadi penyebab musibah yang sering ditakuti oleh masyarakat dataran rendah. Tapi hujan petang ini memberikan warna baru dalam kehidupan anida. Hujan sedari asar dengan kilatan tajamnya memperkeruh senja kala itu.
Sore itu, agenda rapat mingguan anida
dengan teman satu organisasi. Rapat fixsasi agenda besar yang tinggal
menghitung hari. Suasana rapat yang berjalan seperti biasa. Tapi personil rapat
kali ini bisa di bilang tidak sempurna, sebab hanya anida peserta rapat wanita
di rapat itu. Sedikit gelisah, namun apa daya, rapat harus berjalan demi
keberlangsungan agenda besar ini. Anida paham, bagaimana keadaan rekan-rekan
lainnya. Mereka sedang ada keperluan sehingga tidak bisa hadir dalam rapat kali
ini.
“kita akhiri saja rapat sore ini,
langit sudah mendung. Kasihan anida nanti kehujanan.......” ucap syahid di sela
rapat.
“rapatnya belum selesai hid.
Masih banyak yang harus di selesaikan terlebih dahulu” potong faiz spontan.
“lanjutkan saja, hujan bukan
alasan yang tepat.” Balas anida dengan harap-harap cemas. Karena sebenarnya
sudah kepalang tanggung jika pulang sekarang. Toh kilat sudah menyambar
kesegala arah. Lebih baik menunggu hingga hujan turun lalu mereda.
Rapat tetap berjalan meski dengan
ketakutan untuk tidak dapat pulang.
Anida yang tinggal dengan kakak iparnya menjadi alasan yang kuat. Tidak enak
jika pulang terlalu malam. Masalah mungkin bisa saja terjadi.
Hingga sampai adzan maghrib berkumandang. Hujan semakin
lebat bersama kilat dan guntur yang kian membabi buta. Untung saja, lokasi rapat di masjid kampus
sehingga memudahkan untuk sholat.
“ Ya Rabb.. sampaikan salam rinduku pada-Mu dalam dinginnya petang ini,
hujan yang turun semoga menjadi keberkahan bagi siapapun, termasuk diri yang
hina ini. ...” pinta anida dalam doa usah menunaikan sholat maghrib.
Setelah cukup untuk bermunajat
kepada sang pemilik cinta, hujan terlihat sedikit reda. Meski kilatan petir
masih menjadi cahaya terang di malam yang pekat. Anida putuskan untuk beranjak
pulang. Sembari berpamitan dengan syahid dan kawan-kawan lain nya.
Terlihat syahid dan teman-teman
lain nya berkumpul di pelataran masjid sembari memandang langit yang kelam.
Anida beranikan diri untuk berpamitan.
“syahid.. saya pulang dulu, hujan
sudah sedikit reda.... ucapnyau yang sedikit kalah dengan ramainya air hujan
yang jatuh.
“haa... pulang sekarang? “ jawab
syahid di balik tiang pelataran masjid.
“iya”
“hujan masih lumayan deras an,
nanti saja. Tunggu sampai reda.”
“tidak apa, saya sudah telat
untuk pulang. Takut kalau kakak marah.” Desak nyau sembari berjalan menuju
tempat sepatu.
“gelap an.. kamu bawa sepeda kan?
Kalau gitu kamu naik kotor nya faiz, nanti saya dengan faiz goncengan buat
nganterin kamu. Sepeda bisa kita angkat pakai motor. Gimana?”
Usul yang sedikit membuat anida
terkejut. Tak bisa berkata. Saran gila yang baru pertama kali anida dengar dari
temannya. Karena keadaan yang sangat mendesak akhirnya anida mengiyakan.
Hujan gerimis bersama kilatan
putih menjadi pemandangan malam itu. Tiga anak manusia yang sedang menahan
dinginnya malam dan air hujan. Senyuman merekah dari bibir anida. Rasa ukhuwah itu
terasa sekali hingga masuk kedalam sarafnya. Tawa renyah antara anida, syahid
dan faiz sedikit terdengar di bawah kilatan yang masih menyambar. Jalanan berlubang
yang tak terlihat oleh genangan air menjadi bahan tawa di atas kuda besi yang di
naiki.
“jazakumullah akh... sudah
jauh-jauh mengantarkan nida. Maaf kalau sudah merepotkan hingga rela
hujan-hujanan kaya gini.” Ucap anida sembari tersenyum dengan jilbab dan gamis
yang telah basah kuyup.
“sama-sama anida. Santai saja....gak
usah merasa di repotkan. Hhe..” jawab syahid santai.
“ternyata jauh juga kos kamu an..
super sekali kalau nyepeda sejuah ini.” Faiz tertawa dengan jempol yang diacungkan
ke muka anida.
“oh ydah.. anida masuk dlu. Sekali
lagi terimakasih sudah mengantarkan hingga di kos. Assalamualaikum.. pamit
anida hingga tubuhnya hilang bersama gelap.
“wa’alaikumussalam.......
***
Anida tahu, bahwa ukhuwah itu tak
terbatas. Meskipun seringkali pertemanan antara laki-laki dan wanita seringkali
termakan oleh virus yang mematikan. Tetapi tidak bisa semata-mata dijadikan
patokan bahwa ukhuwah ini menjadi terlarang.
Harapan baru dengan keluarga baru
akan selalu bersemi bersama indahnya mentari yang terbit. Selamat menyambut
senyuman itu. Senyuman optimisme diantara kita.
Bandar Lampung
Hayatun Munawaroh, 25 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar