Apa kabar imanmu?
Apa
kabar dengan kekecewaanmu?
Lalu apa
kabar dengan amanahmu?
Secarik
kertas bertuliskan pesan singkat membuat ku terkejut. Entah siapa yang dengan
sengaja meletakkan pesan singkat tersebut di Al-Qur’an birunya. Pertanyaan yang
membuatku sedikit bimbang. Bimbang dengan maksud pesan itu. Dan bahagia karena
ternyata ada sesorang yang mengkhawatirkanku. Bukankah rasa khawatir seseorang
merupakan buah dari kasih sayangnya? Siapapun itu aku tetap ingin mencari tahu.
Tak peduli itu wanita ataupun pria.
Sebab,
memori itu telah kembali menganga. Mengingatkan akan kekecewaan yang telah
berlalu.
***
Senja
ini, hujan turun dengan derasnya. Aku duduk seorang diri di pelataran masjid
menunggu hujan berhenti. Sembari kembali membaca dan terus memerhatikan secarik
kertas yang aku temukan. Menerka-nerka siapakah gerangan yang menulisnya.
“Kamu
kenapa? Matahari terlalu indah untuk melihat senyum mu yang murung seperti itu
din.” Ucap santi mengagetkanku. Lalu duduk di sampingku. Menemani.
“...
hmm.. aku tidak apa-apa san, ... balasku sekenanya
“aku
sudah mengenalmu hampir 4 tahun dini, tidak mungkin jika tidak terjadi
sesuatu..” cerca santi penuh selidik.
“baca
ini”
“apa
ini....? tulisanmu? Untuk ku? Harus aku jawab?”
“Bukan
san.. itu di tujukan untukku. Tetapi aku tidak tahu siapa yang menulis dan
meletakkan pada qur’anku.”
“Lantas,
apa artinya?” Jawab santi bingung.
“Aku bingung
harus memulai dari mana san. Saat ini aku sangat bersyukur tetap bersama kamu
dan teman-teman lainnya. Aku bahagia sebab Allah masih percaya kepadaku untuk
memegang amanah dalam dakwah ini. Aku berterimakasih sudah terlalu banyak
membuat kamu dan teman-teman dengan suka rela menolongku dan mengingatkanku
dalam hal kebaikan. Tak meninggalkanku dalam cacatnya iman yang berlarut-larut.
Satu tahun lalu, ketika perombakan itu terjadi. Aku sempat di rundung kecewa
yang berlebih. Kecewa dalam titik akhir batas kesabaranku. Mengapa aku tidak
seperti kalian yang dengan bangga menyampaikan ilmu-ilmu segar tentang dakwah.
Penuh semangat dalam memperjuangkan keadilan. Berkumpul dalam lingkaran
sederhana itu di pagi, siang atau senja dengan rona merah ketika menyambut petang.
Aku kecewa sekaligus iri dengan segala yang kalian dapatkan. Lantas aku? Sama
seperti kalian yang tetap berkontribusi dalam dakwah ini. Dengan jiwa dan
ragaku. Dengan segala kemampuan yang aku punya. Tapi nyatanya? Sampai satu
tahun lebih aku tidak mendapat asupan nutrisi dan gizi dari dakwah ini.
Kekecewaanku memuncak hingga satu tahun lamanya. Sempat aku berpikir, apakah
ini adil bagiku? Aku telah memberi segalanya, namun tidak ada balasan? ....”
aku berhenti sejenak, menghapus air mata yang terus mengalir.
Santi
mendengarkanku dengan seksama dengan kedua mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
“hingga
di titik akhir kepengurusan aku terjebak dalam percakapan hebat dengan salah
satu senior san. Aku memutuskan untuk berhenti dan menghilang. Menghilang dari
apapun itu. Aku ingin menenangkan diri. Mungkin dengan menghilang dan pergi
bisa membuat kecewaku hilang bersama waktu. Nasihat tajam dan teguran keras aku
terima kala itu. Tapi gendang telingaku, ku rasa telah pecah. Semua itu tidak
sama sekali aku dengar. Kekecewaan ku telah memuncak. Mungkin kala itu imanku
memang sudah compang camping. Tidak berbentuk mutiara indah. Tak nikmat untuk
di pandang. Namun, niat yang sudah bulat tadi tidak mendapat ridho dari Allah.
Allah berkata lain dalam skenario-Nya. Entah mengapa kekecewaan itu sirna
secara perlahan. Belum sempat aku menghilang hatiku kembali membaik. Aku pun
tidak tahu perihal apa yang membuatku menghilangkan kecewa yang sudah berkarat
itu. Hingga detik ini aku sangat bersyukur. Sebab segala yang telah kita
inginkan tidak sepenuhnya mendapat ridho-Nya. Laksana tumbuhan yang layu dan
hendak mati, akan kembali hidup sebab pemiliknya merawat dan memberikan
air....” napasku kembali ku atur sembari mengembangkan senyum.
“subhanallah,
ternyata Allah masih menjagamu dini, Allah tidak ingin hambanya yang luar biasa
seperti kamu hilang termakan kecewa.
mengapa kamu baru cerita? Lalu, perihal apa yang membuat mengusir kecewa
mu?” ucap santi menggerakkan tangannya lalu memelukku dengan air mata yang
telah mengalir.
Sudah
aku katakan, tidak ada yang membuatku mengusir kecewa itu dengan tiba-tiba..
mungkin itu Allah. Hhe... sudah jangan menangis. Aku saja senyum nih ” jawabku
dengan khas humor yang garing.
Aku
benar-benar bangga terhadapmu din.. tidak semua orang dapat bertahan sepertimu.
Tetap bersabar. Janji Allah memang tidak akan pernah salah. Setelah apa yang
kamu lakukan dengan dakwah ini Allah tidak akan melepas dan membiarkan hambanya
menuju kejahiliahan kembali.
Din...
berjamaah itu memang menyakitkan, tetapi dengan berjamaah jauh baik dari pada
sendiri. Ketika yang lain menyakitimu ada yang lain lagi yang akan membantumu.
Menolongmu dalam segala kepayahan...” ucap santi bersama senyuman ramahnya..
Terimakasih
telah menjadi keluarga, sahabat atau apapun itu namanya bagi dini. Semoga niat
baik kita tetap menjadi yang terbaik dalam sejarah. Iman itu ada kalanya naik
dan turun. Dan dengan berjamaah semoga iman ini tetap selalu stabil dan terus
membaik.
Percakapan
senja itu terhenti dengan hujan yang telah mereda.
0 komentar:
Posting Komentar