Selasa, 08 Oktober 2019

Throwback "Jadi Santri"

Foto : Teman Satu Angkatan versi now

Tahun 2007, selepas lulus SD, saya "dibuang" orang tua ke pondok pesantren. Disana saya menemukan jati diri dan menemukan arti sebuah perjuangan. 

Hampir semua hal yang saat ini saya butuhkan untuk hidup dan menjadi manusia, saya pelajari di pondok. Bukan hanya belajar agama dan sekolah umum. Disana juga saya belajar menjadi individu yang dapat bertahan hidup serta berjuang dalam kompetisi. Berusaha agar tidak berada di lantai dasar dan berjuang di puncak piramida kehidupan. 

Ketika dipondok, semua serba antri. kalau datang terlambat ke ruang makan, siap- siap saja untuk mendapatkan sisa-sisa makanan. Lalu bertahan menahan lapar yang tidak terobati hingga di waktu makan berikutnya. Mandi pun harus antri, kalau sial bisa terlambat ke masjid dan berangkat sekolah. Tidur dan istirahat dengan waktu yang terjadwal dan terbatas. Semua serba terbatas, dari stok makanan, sabun hingga uang jajan. Sebab, dalam seminggu ada jumlah uang minimal yang diperbolehkan saya pegang. Sisanya kemana? dititipkan ke ustadzah. Dulu saya tidak mengerti mengapa harus ada peraturan menitipkan uang? ternyata ini salah satu cara agar kami tidak boros dan menghindari kehilangan. 

Di tengah keterbatasan itu, kreativitas menjadi kata kunci untuk izin ke asrama ketika jam kosong dikelas. atau keluar kelas lebih cepat hanya untuk mencuri waktu tidur sebentar, antri ke ruang makan, menjejer gayung dan alat mandi yang mengantri di depan pintu "Hamam". 

Saya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dalam seni mempertahankan diri. Mencari solusi atas segala permasalahan, baik terhadap diri sendiri yang "bebal" sekali dalam menghafal, berkonflik dengan teman seasrama, pelanggaran ketika tidak menggunakan bahasa resmi pondok, kabur melompati pagar pondok atau terlibat dalam cerita cinta segitiga ala anak remaja. 

Saya terlatih untuk mencari celah, hingga membuat "gelombang iman" jika hal-hal berat datang. Hidup bersosialisasi 24 jam sehari, makan bareng hingga tidur berjamaah, hingga mengalami ujian selama sebulan. Semua saya jalani hingga 6 tahun tanpa merasa menyesal. 

Maka makna menjadi santri bagi saya tidak hanya belajar ilmu agama saja. Lebih dari itu, santri adalah mereka yang hidup dan belajar setiap hari mengalahkan dirinya, egonya, melawan keterbatasan, menerobos segala rintangan dan keluar dari zona nyaman. Agar hidup bisa dilanjutkan dan menjadi bermanfaat bagi orang lain. 

Saya bersyukur, pernah mondok, melewati hari-hari berat menjadi santri. Dan menemukan persaudara yang terbentang luas, lalu merindukannya.... 

Sidomulyo, 8 Oktober 2019 
Pukul 7.10 PM  

Share:

2 komentar: