Sosok yang tak akan habis tuk dibicarakan. Sosok yang tak
tergantikan. Dalam Kesabaran, kelembutan, keramahan, keikhlasan, kecintaan hingga ketabahannya. Dia wanita terbaik yang
ku kenal. Ibu. Sosok yang tak tergantikan kasih sayangnya. Tak ternilai kelembutannya. Dan tak dapat dilukiskan keikhlasannya.
Saat itu, aku berada dalam keadaan bimbang tak terhingga. Ibu meminta sesuatu yang amat
sederhana namun memiliki makna yang begitu luar biasa. Dengan ucapan yang
sangat lembut ibu mengutarakan keinginan yang sangat beliau harapkan.
“nduk.. maukah memberikan mahkota terindah untuk ibumu yang sudah renta ini?”
“mahkota seperti apa yang ibu maksud?” tanya ku, kebingungan.
“ibu ingin, kamu masuk pesantren nak... Biar jadi hafidzoh, kamu mau kan nduk?.”
Seperti ada kilatan petir menyambar hatiku. Menyambar mimpiku.
Hingga luluh lantah. Keinginan ibu yang begitu besar ingin memasukkan ku ke
dalam pesantren, begitu kuat. Beliau ingin agar anaknya menjadi hafidzoh
(penghafal Al-Qur’an). Beliau ingin anaknya menjadi salah satu utusan Allah
yang dapat menjaga, mengamalkan dan mencintai Al-Qur’an sepenuhnya. Begitu
mulia apa yang beliau inginkan. Namun, di lain sisi. Aku memiliki keinginan
yang jauh berbeda dengan keinginan ibuku. Mimpi yang sudah lama sekali ku
rangkai. Mimpi yang begitu ku nanti-nantikan. Ketika lulus dari sekolah dasar
di desaku. Aku ingin mewujudkan mimpi itu. Mimpi dapat bersekolah di sekolah
bonefit. Disekolah yang elit, fasilitas lengkap, dan teknologi canggih. Tak bisa
ku bayangkan, jika nanti di pesantren. Kumuh, kotor, norak dan hanya bertemu
dengan guru-guru tua, kitab-kitab tua yang semuanya serba gelap. Pikiran yang
buruk tentang pesantren memenuhi kepalaku.
Namun, keinginan ibu tidak bisa ku tolak mentah-mentah. Aku dapat
melihat rona harapan pada wajah ibu. Harapan agar anaknya bisa masuk pesantren
dan memberikan mahkota terindah kelak di surga. Sebab hanya akulah yang dapat
memenuhi keinginannya di usia beliau yang kian menua. Kakak-kakak ku sudah
berkeluarga. Hanya aku.. ya hanya aku. Yang dapat diharapkan. Aku ingat sekali
raut wajah yang terpancar ketika ibu membujukku agar mau masuk pesantren.
Dengan lemah lembut ibu menasehati, memberi arahan, menceritakan bahwa kehidupan
pesantren itu indah, banyak teman, suka duka dapat dilalui bersama hingga surga
pun dapat kita raih. Segala cara ibu lakukan tetapi tanpa memaksaku.
Mimpiku yang kokoh, akhirnya luluh dengan untaian kalimat demi
kalimat yang setiap hari ibu ucapkan. Aku yang polos kala itu dapat dengan
mudah menuruti. Meskipun segala cara ku lakukan untuk menolaknya. Akhirnya aku
masuk pesantren yang diinginkan ibu. Dengan sedikit kekecewaan, ku langkahkan
kaki ini menuju “penjara suci”. Banyak orang yang menyebutnya seperti itu.
Entah mengapa dikenal dengan nama itu. Mungkin kehidupannya seperti penjara
namun dibumbui dengan ajaran agama. aku yang masih lugu tak terlalu memikirkannya.
Seminggu, sebulan, setahun sampai diakhir tahun menuju kelulusan ku.
Ibu tampak bahagia. Kala itu aku telah menguasai beberap juz dalam Al-Qur’an.
Ibu sangat bangga. Ternyata aku mampu, meski dengan keterpaksaan. Walau belum
tuntas 30 juz ku hafal. Aku tumbuh menjadi remaja saat itu. Dan kebosananku
sudah memuncak selama 3 tahun ini terkurung dalam lembaga yang sama sekali
tidak aku inginkan. Demi membahagiakan ibuku. Aku rela melepaskan mimpiku.
Membiarkannya melayang bersama harapan-harapan yang telah pupus terbawa angin.
Setelah lulus dari MTs aku berusaha menguatkan tekad untuk
berbicara kepada orang tuaku, terkhusus ibu untuk melanjutkan SMA ke sekolah
umum. Aku sudah bosan dengan kehidupan pesantren. Aku ingin merasakan kehidupan
diluar sana seperti mimpiku dulu. Ya meskipun aku tahu, itu tidak mungkin. Tapi
aku akan mencobanya.
Dengan sangat hati-hati ku coba utarakan apa keinginanku.
Perlahan-lahan ku ucapkan. Mimpi yang selama ini ada. Mimpi yang sempat hancur berkeping-keping. Meskipun ibu
akan marah kepadaku. Ternyata dugaanku salah besar. Ibu menjawab keinginanku dengan
sangat lembut. Itulah kelebihan dari
ibuku yang selalu sabar menghadapi anaknya yang nakal ini.
“Nduk... kamu yakin, mau lanjut ke SMA umum? Tak sayang dengan hafalanmu?
Dulu katanya ingin mempersembahkan mahkota nan indah untuk ibu di surga kelak?”
ucapnya penuh kehati-hatian.
“ iya ibu, aya sudah pikirkan matang-matang. Untuk hafalan kan masih bisa di lakuin dirumah bu.
Lagian aya kan sudah tau trik nya menghafal
yang cepat. Aya gak lupa kok hadiah yang sangat ibu inginkan, percaya deh dengan
aya.” Jawabku meyakinkan.
“ibu setuju saja kamu mau lanjut SMA kemana saja. Tapi ibu lebih
ridho kalau aya tetap di pesantren.
Kalau kamu bosan dipesantren yang lama, ibu bisa menghubungi pamanmu yang di
jawa supaya kamu sekolah disana. Kan kamu juga ingin pergi ke jawa?.”
Perkataan ibu kembali mematahkan mimpiku. Meluluh lantahkannya.
Kata “ridho” yang ibu ucapkan seperti petir yang menyambar hatiku. Aku tak
berani melawan ridho dari ibu, sebab ridhonya orang tua adalah ridhonya Allah,
termasuk ibu. Dan di lain sisi keinginan bisa ke jawa seperti tombak yang
menghunus hatiku. Ibu selalu tahu apa yang aku inginkan. Itulah ibu ku dengan
kepekaannya. Dengan sangat terpaksa, aku mengiyakan keinginan ibu. Mungkin ini
jawaban Allah atas doa-doaku. Inilah jalan yang Allah berikan kepadaku. Inilah
bentuk kasih sayang Allah padaku agar tetap bisa menjaga Kallam-Nya. Berbagai pikiran
positif ku paksakan masuk kedalam otakku.
Kehidupan pesantren kembali ku jalani. Tak jauh berbeda dengan
pesantren lamaku. Hanya kultur budaya yang lebih heterogen. Kulalui dengan
sebaik-baiknya. Namun apa daya, kadang kala kefuturan muncul sebab dari awal
aku tidak menyukai jalan ini. Di pertengahan masa belajarku. Aku berontak
dengan semua keadaan ini. Aku kabur dari pesantren. Aku menghilang tanpa jejak.
Seluruh penghuni pesantren sibuk mencariku. Hingga berhari-hari aku tak kunjung
pulang dan Kyai ku memberi kabar kepada kedua orang tua ku di tanah sebrang
(lampung). Dengan penuh kecemasan ibu
mencoba menghubungi saudara-saudaraku dijawa agar bisa menemukanku. Ingin
sekali ibu berangkat ke jawa, namun tubuh rentanya tak memungkinkan untuk
berangkat. Saat itu aku menginap di salah satu teman dari organisasi luar
pesantren. Entah syaitan apa yang merasuki ku hingga melakukan perbuatan ini. Segala
macam cara dilakukan oleh pihak pesantren untuk mencariku. Sungguh hinanya
diriku. Tak memikirkan bagaimana perasaan ibu. Yang telah mengamanahkaku agar
menuntut ilmu sebaik-baiknya di tanah orang. Namun, aku tak mempedulikannya.
Hingga akhirnya ketika aku membuka akun media sosialku, terdapat pesan masuk.
Ku buka. Ternyata itu dari sepupuku di lampung. Telihat potongan kalimat dari ibuku.
Kalimatnya sangat singkat. Namun menggetarkan hatiku.
“ Anakku yang sholehah sang penjaga kalam-Nya. Di sisa umur ibu yang tak panjang lagi. Ibu hanya ingin kau dapat bersekolah dan mewujudkan janjimu kepada ibu. Ibu hanya ingin mahkota itu nak.. tak lebih, semangat penghafal anakku. Dan kembalilah kepesantren. Patuhi segala peraturan yang ada, seperti kau mematuhi Rabbmu. Doa ibu selalu menyertaimu anak ku sayang.... jangan sampai kau mengkhianati apa yang telah diamanahkan. Salam rindu penuh air mata dari ibumu tersayang.”
Dalam sekejab, air matahku tumpah tanpa henti, suaraku menjadi
parau. Begitu mudahnya aku melanggar amanah yang telah dipercaya oleh ibuku.
Sosok yang sangat aku kagumi. Aku cintai. Dan aku tersadar ternyata semua ini
salah. Aku harus mewujudkan mimpi itu, mimpi menjadi punggawa Allah yang
menjaga Kallam-Nya. Bismillah, dengan keyakinan yang membara aku kembali
kepesantren meskipun hukuman hebat telah menantiku.
Aku lulus dengan hasil yang tidak mengecewakan di pesantrenku.
Meskipun mahkota itu belum dapat ku raih sepenuhnya. Namun, ibu sangat bangga
terhadapku. Dengan keterpaksaan aku bisa melewatinya. Ibu tidak kecewa dengan
keadaanku yang belum bisa membawa mahkota terindah. Ibu terus menerus
memotivasiku agar tetap menghafal hingga tuntas. Hingga saat ini, aku
melanjutkan studi disalah satu universitas islam di kotaku dengan target
menuntaskan hafalanku. Meskipun aku mengambil jurusan yang umum. Alhamdulillah
ibu membolehkanku.
Ibu yang selalu menyelipkan sekeping doa untukku di sepertiga
malam, mendoakan agar aku berhasil dibalas dengan kekecewaan yang mendalam. Ibu....
maafkanlah anakmu yang telah menorehkan kekecewaan, yang belum bisa memenuhi apa yang engkau
inginkan, namun dengan sekuat tenaga aya akan berusaha memberikan mahkota
terindah untukmu ibu. Dengan segala
kekuatan yang tersisa, selagi nyawa diraga. Dan doakan adinda, agar
dimudahkan dalam menyelesainyanya. Akan aku kumpulkan juz per juz yang telah
tercecer dan belum sempat tersentuh. Akan aku kokohkan semangat itu... Kado
spesial itu akan aku berikan untukmu ibu.. tanda cinta dari anakmu. Percayalah...
Aya sayang ibu. ^_^
0 komentar:
Posting Komentar