Selasa, 02 Desember 2014

Mahkota Terindah Untuk Ummi



Sosok yang tak akan habis tuk dibicarakan. Sosok yang tak tergantikan. Dalam Kesabaran, kelembutan, keramahan, keikhlasan, kecintaan  hingga ketabahannya. Dia wanita terbaik yang ku kenal. Ibu. Sosok yang tak tergantikan kasih sayangnya.  Tak ternilai kelembutannya.  Dan tak dapat dilukiskan keikhlasannya.

Saat itu, aku berada dalam keadaan bimbang  tak terhingga. Ibu meminta sesuatu yang amat sederhana namun memiliki makna yang begitu luar biasa. Dengan ucapan yang sangat lembut ibu mengutarakan keinginan yang sangat beliau harapkan.

“nduk.. maukah memberikan mahkota terindah untuk ibumu yang sudah renta ini?”

“mahkota seperti apa yang ibu maksud?” tanya ku, kebingungan.

“ibu ingin, kamu masuk pesantren nak... Biar  jadi hafidzoh, kamu mau kan nduk?.”

Seperti ada kilatan petir menyambar hatiku. Menyambar mimpiku. Hingga luluh lantah. Keinginan ibu yang begitu besar ingin memasukkan ku ke dalam pesantren, begitu kuat. Beliau ingin agar anaknya menjadi hafidzoh (penghafal Al-Qur’an). Beliau ingin anaknya menjadi salah satu utusan Allah yang dapat menjaga, mengamalkan dan mencintai Al-Qur’an sepenuhnya. Begitu mulia apa yang beliau inginkan. Namun, di lain sisi. Aku memiliki keinginan yang jauh berbeda dengan keinginan ibuku. Mimpi yang sudah lama sekali ku rangkai. Mimpi yang begitu ku nanti-nantikan. Ketika lulus dari sekolah dasar di desaku. Aku ingin mewujudkan mimpi itu. Mimpi dapat bersekolah di sekolah bonefit. Disekolah yang elit, fasilitas lengkap, dan teknologi canggih. Tak bisa ku bayangkan, jika nanti di pesantren. Kumuh, kotor, norak dan hanya bertemu dengan guru-guru tua, kitab-kitab tua yang semuanya serba gelap. Pikiran yang buruk tentang pesantren memenuhi kepalaku.
Namun, keinginan ibu tidak bisa ku tolak mentah-mentah. Aku dapat melihat rona harapan pada wajah ibu. Harapan agar anaknya bisa masuk pesantren dan memberikan mahkota terindah kelak di surga. Sebab hanya akulah yang dapat memenuhi keinginannya di usia beliau yang kian menua. Kakak-kakak ku sudah berkeluarga. Hanya aku.. ya hanya aku. Yang dapat diharapkan. Aku ingat sekali raut wajah yang terpancar ketika ibu membujukku agar mau masuk pesantren. Dengan lemah lembut ibu menasehati, memberi arahan, menceritakan bahwa kehidupan pesantren itu indah, banyak teman, suka duka dapat dilalui bersama hingga surga pun dapat kita raih. Segala cara ibu lakukan tetapi tanpa memaksaku.
Mimpiku yang kokoh, akhirnya luluh dengan untaian kalimat demi kalimat yang setiap hari ibu ucapkan. Aku yang polos kala itu dapat dengan mudah menuruti. Meskipun segala cara ku lakukan untuk menolaknya. Akhirnya aku masuk pesantren yang diinginkan ibu. Dengan sedikit kekecewaan, ku langkahkan kaki ini menuju “penjara suci”. Banyak orang yang menyebutnya seperti itu. Entah mengapa dikenal dengan nama itu. Mungkin kehidupannya seperti penjara namun dibumbui dengan ajaran agama. aku yang masih lugu tak terlalu memikirkannya.
Seminggu, sebulan, setahun sampai diakhir tahun menuju kelulusan ku. Ibu tampak bahagia. Kala itu aku telah menguasai beberap juz dalam Al-Qur’an. Ibu sangat bangga. Ternyata aku mampu, meski dengan keterpaksaan. Walau belum tuntas 30 juz ku hafal. Aku tumbuh menjadi remaja saat itu. Dan kebosananku sudah memuncak selama 3 tahun ini terkurung dalam lembaga yang sama sekali tidak aku inginkan. Demi membahagiakan ibuku. Aku rela melepaskan mimpiku. Membiarkannya melayang bersama harapan-harapan yang telah pupus terbawa angin.
Setelah lulus dari MTs aku berusaha menguatkan tekad untuk berbicara kepada orang tuaku, terkhusus ibu untuk melanjutkan SMA ke sekolah umum. Aku sudah bosan dengan kehidupan pesantren. Aku ingin merasakan kehidupan diluar sana seperti mimpiku dulu. Ya meskipun aku tahu, itu tidak mungkin. Tapi aku akan mencobanya.
Dengan sangat hati-hati ku coba utarakan apa keinginanku. Perlahan-lahan ku ucapkan. Mimpi yang selama ini ada. Mimpi yang  sempat hancur berkeping-keping. Meskipun ibu akan marah kepadaku. Ternyata dugaanku salah besar. Ibu menjawab keinginanku dengan sangat lembut.  Itulah kelebihan dari ibuku yang selalu sabar menghadapi anaknya yang nakal ini. 
Nduk... kamu yakin, mau lanjut ke SMA umum? Tak sayang dengan hafalanmu? Dulu katanya ingin mempersembahkan mahkota nan indah untuk ibu di surga kelak?” ucapnya penuh kehati-hatian.
“ iya ibu, aya sudah pikirkan matang-matang. Untuk  hafalan kan masih bisa di lakuin dirumah bu. Lagian aya  kan sudah tau trik nya menghafal yang cepat. Aya gak lupa kok hadiah yang sangat ibu inginkan, percaya deh dengan aya.” Jawabku meyakinkan.
“ibu setuju saja kamu mau lanjut SMA kemana saja. Tapi ibu lebih ridho kalau aya  tetap di pesantren. Kalau kamu bosan dipesantren yang lama, ibu bisa menghubungi pamanmu yang di jawa supaya kamu sekolah disana. Kan kamu juga ingin pergi ke jawa?.” 
Perkataan ibu kembali mematahkan mimpiku. Meluluh lantahkannya. Kata “ridho” yang ibu ucapkan seperti petir yang menyambar hatiku. Aku tak berani melawan ridho dari ibu, sebab ridhonya orang tua adalah ridhonya Allah, termasuk ibu. Dan di lain sisi keinginan bisa ke jawa seperti tombak yang menghunus hatiku. Ibu selalu tahu apa yang aku inginkan. Itulah ibu ku dengan kepekaannya. Dengan sangat terpaksa, aku mengiyakan keinginan ibu. Mungkin ini jawaban Allah atas doa-doaku. Inilah jalan yang Allah berikan kepadaku. Inilah bentuk kasih sayang Allah padaku agar tetap bisa menjaga Kallam-Nya. Berbagai pikiran positif ku paksakan masuk kedalam otakku.
Kehidupan pesantren kembali ku jalani. Tak jauh berbeda dengan pesantren lamaku. Hanya kultur budaya yang lebih heterogen. Kulalui dengan sebaik-baiknya. Namun apa daya, kadang kala kefuturan muncul sebab dari awal aku tidak menyukai jalan ini. Di pertengahan masa belajarku. Aku berontak dengan semua keadaan ini. Aku kabur dari pesantren. Aku menghilang tanpa jejak. Seluruh penghuni pesantren sibuk mencariku. Hingga berhari-hari aku tak kunjung pulang dan Kyai ku memberi kabar kepada kedua orang tua ku di tanah sebrang (lampung).  Dengan penuh kecemasan ibu mencoba menghubungi saudara-saudaraku dijawa agar bisa menemukanku. Ingin sekali ibu berangkat ke jawa, namun tubuh rentanya tak memungkinkan untuk berangkat. Saat itu aku menginap di salah satu teman dari organisasi luar pesantren. Entah syaitan apa yang merasuki ku hingga melakukan perbuatan ini. Segala macam cara dilakukan oleh pihak pesantren untuk mencariku. Sungguh hinanya diriku. Tak memikirkan bagaimana perasaan ibu. Yang telah mengamanahkaku agar menuntut ilmu sebaik-baiknya di tanah orang. Namun, aku tak mempedulikannya. Hingga akhirnya ketika aku membuka akun media sosialku, terdapat pesan masuk. Ku buka. Ternyata itu dari sepupuku di lampung.  Telihat potongan kalimat dari ibuku. Kalimatnya sangat singkat. Namun menggetarkan hatiku.
Anakku yang sholehah sang penjaga kalam-Nya. Di sisa umur ibu yang tak panjang lagi. Ibu hanya ingin kau dapat bersekolah dan mewujudkan janjimu kepada ibu. Ibu hanya ingin mahkota itu nak.. tak lebih, semangat penghafal anakku. Dan kembalilah kepesantren. Patuhi segala peraturan yang ada, seperti kau mematuhi Rabbmu. Doa ibu selalu menyertaimu anak ku sayang.... jangan sampai kau mengkhianati apa yang telah diamanahkan. Salam rindu penuh air mata dari ibumu tersayang.”
Dalam sekejab, air matahku tumpah tanpa henti, suaraku menjadi parau. Begitu mudahnya aku melanggar amanah yang telah dipercaya oleh ibuku. Sosok yang sangat aku kagumi. Aku cintai. Dan aku tersadar ternyata semua ini salah. Aku harus mewujudkan mimpi itu, mimpi menjadi punggawa Allah yang menjaga Kallam-Nya. Bismillah, dengan keyakinan yang membara aku kembali kepesantren meskipun hukuman hebat telah menantiku.
Aku lulus dengan hasil yang tidak mengecewakan di pesantrenku. Meskipun mahkota itu belum dapat ku raih sepenuhnya. Namun, ibu sangat bangga terhadapku. Dengan keterpaksaan aku bisa melewatinya. Ibu tidak kecewa dengan keadaanku yang belum bisa membawa mahkota terindah. Ibu terus menerus memotivasiku agar tetap menghafal hingga tuntas. Hingga saat ini, aku melanjutkan studi disalah satu universitas islam di kotaku dengan target menuntaskan hafalanku. Meskipun aku mengambil jurusan yang umum. Alhamdulillah ibu membolehkanku.
Ibu yang selalu menyelipkan sekeping doa untukku di sepertiga malam, mendoakan agar aku berhasil dibalas dengan kekecewaan yang mendalam. Ibu.... maafkanlah anakmu yang telah menorehkan kekecewaan,  yang belum bisa memenuhi apa yang engkau inginkan, namun dengan sekuat tenaga aya akan berusaha memberikan mahkota terindah untukmu ibu. Dengan segala  kekuatan yang tersisa, selagi nyawa diraga. Dan doakan adinda, agar dimudahkan dalam menyelesainyanya. Akan aku kumpulkan juz per juz yang telah tercecer dan belum sempat tersentuh. Akan aku kokohkan semangat itu... Kado spesial itu akan aku berikan untukmu ibu.. tanda cinta dari anakmu. Percayalah...
Aya sayang ibu. ^_^
Share:

0 komentar:

Posting Komentar